Post by mocha on Jan 3, 2015 11:25:38 GMT 7
Warning!
Ada beberapa hal yang harus diketahui sebelum melanjutkan :
1) Ini adalah pertarungan di luar canon kedua partisipan, sehingga tidak terhitung pertarungan resmi
2) Emils adalah OC saya sendiri, tapi Lazuardi adalah OC dari om Po (https://www.facebook.com/po.po.1610092?ref=ts&fref=ts).
3) Kematian Emils diambil dari akhir canon Luna Arachelia di ronde ketiga.
4) Fanfic ini tidak untuk diperjual belikan (Memang ada yang mau beli? )
5) Penggunaan Lazu di fanfic ini adalah tanpa Izin pemiliknya <Rahasia Publik>
Ada beberapa hal yang harus diketahui sebelum melanjutkan :
1) Ini adalah pertarungan di luar canon kedua partisipan, sehingga tidak terhitung pertarungan resmi
2) Emils adalah OC saya sendiri, tapi Lazuardi adalah OC dari om Po (https://www.facebook.com/po.po.1610092?ref=ts&fref=ts).
3) Kematian Emils diambil dari akhir canon Luna Arachelia di ronde ketiga.
4) Fanfic ini tidak untuk diperjual belikan (Memang ada yang mau beli? )
“The Meaning of life”
Act 01 : The Dead of the Living.
Apakah arti hidup itu? Jutaan mahluk telah menjalani masa hidup mereka, panjang maupun pendek, tegang ataupun tenang, senang ataupun sedih, banyak yang telah melalui masa hidup mereka hingga mereka mendapat arti hidup mereka.
Bagi seekor singa, hidup mereka adalah memperluas teritori buruan mereka. Bagi seekor burung, hidup mereka adalah untuk dapat terbang tinggi ke angkasa. Bagi seekor kerbau, hidup adalah bersama dengan kelompok mereka.
Namun untuk sang matoi itu, hidup adalah untuk dapat berjalan-jalan di suatu taman indah bersama kekasihnya, Safirem, seperti yang ia lakukan saat ini. Kedua kekasih itu saling berpegangan tangan, menyusuri jalan setapak di tengah sebuah padang bunga beragam jenis. Matahari bersinar terang di langit biru yang membentang luas di angkasa yang bertaburan awan-awan kecil.
Sang Matoi melepas genggaman tangannya, kemudian memetik setangkai bunga berwarna putih. Bagi wanita biasa tentu saja setangkai bunga sudah cukup, tapi untuk kekasihnya itu belumlah cukup, pikir sang matoi. Ia memetik beberapa tangkai bunga, kemudian merangkainya menjadi suatu lingkaran dengan kuntum bunga berselang-seling dari merah,biru,kuning dan ungu.
“Biru~~~”sang Matoi mendengar nama panggilannya terpanggil oleh suara nyaring dari belakangnya.
Lazu, matoi itu menoleh ke asal suara itu dan menemukan kekasihnya tengah melambai-lambai padanya sambil duduk bersandar pada sebuah pohon besar yang memayunginya dari sengatan sinar matahari.
Dengan membawa mahkota bunga yang ia buat, ia berjalan menyisir padang bunga di depannya untuk sampai ke pohon tersebut. Begitu ia sampai, ia segera mengenakan mahkota buatannya pada Safirem, kemudian duduk di sebelah kekasihnya.
“Terimakasih, Biru”ucap Safirem, lalu menggengam satu tangan sang matoi.
Namun Lazu hanya terdiam. Bukan karena ia tak mau menjawab, tapi karena otak cairnya memanas akibat jutaan prediksi yang saling jatuh-menjatuhkan. Tidak seperti hari-hari biasa dimana semua alur yang ia pikirkan akan menjadi masuk akal karena logikanya, kali ini semua yang ia pikirkan adalah hal-hal tak logis seperti skenario memesan restoran mahal untuk makan siang, padahal ia sendiri tidak tahu apa itu “restoran”. Semua itu tergambar pada urat syarafnya yang perlahan berubah menjadi merah muda.
Sebuah serangan telak menghantam pipi sang Matoi. Tubuhnya semakin memanas, urat syarafnya semakin memerah dan matanya mulai kejang-kejang. Itu semua terjadi karena serangan “kecupan” dari Safirem sendiri.
“hihihi... kamu lucu sekali kalau tersipu malu”tawa ringan wanita itu.
Lazu berhasil menenangkan dirinya sebelum ia melewati batas rasa malunya. Ia kembali menatap Safirem, hendak memprotes kecupan mendadak itu, tapi nyalinya menyiut ketika ia melihat kedua mata Safirem menatap dalam ke dalam mata Lazu sendiri. Safirem menutup matanya, lalu melayangkan telapak tangannya ke depan kelopak mata sang Matoi, seakan mengatakan pada Lazu untuk menutup matanya.
Angin sepoi-sepoi menerpa, meniup ribuan kelopak bunga pada padang bunga itu hingga terbang berhamburan kesana-kemari, menutup kepala pasangan itu yang semakin mendekati satu dengan yang lain. Bagi mereka, setiap detik terasa sangat lama, tapi akhirnya kedua bibir mereka saling menyentuh.
Untuk ciuman itu,bibir Safirem terasa begitu keras dan kaku, seakan-akan gigi Safirem menutup di belakang bibirnya. Selain kakunya bibir Safirem, ada sebuah cairan lengket berbau yang menempel pada kulit cair Lazu. Cairan itu sangat kental dan lengket, ditambah lagi bau anyir yang dikeluarkan, Lazu hampir yakin kalau itu adalah...
“DARAH?!”teriak Lazu histeris.
Dengan cepat sang Matoi menarik mulutnya, hanya untuk menemukan sebuah tengkorak tak berdaging di depannya. Ia segera merangkak mundur, kemudian berdiri dengan kedua kakinya.
Lazu segera menyapu bersih mulutnya dari darah yang melekat. Ia mengalihkan pandangannya ke setiap sudut tempat itu untuk mencari sang kekasih, tapi yang ia temukan hanyalah tengkorak di depannya.
“Safirem! Dimana kau?!”teriak Lazu.
“Apa yang kau bicarakan, Biru? Aku Safirem”jawab tengkorak itu tanpa menggerakan rahang bawahnya.
Tentu saja Lazu tidak percaya dengan perkataan tengkorak itu, tapi setelah dia melihat baik-baik, Lazu menyadari bahwa tengorak itu masih mengenakan mahkota bunga yang ia buat, rambut Safirem masih melekat di belakang tengkorak itu dan tubuh di bawahnya adalah tubuh dari Safirem itu sendiri.
“A-Apa yang terjadi?!”
“Apa kau lupa,Biru? Safirem telah mati”terdengar suara Safirem, tapi bukan dari Safirem sendiri, melainkan dari balik tubuhnya.
Tubuh di depan Lazu terkoyak dengan cepat menjadi kumpulan daging dan organ-organ tidak berbentuk, bahkan tulang dari tubuh itu tergiling menjadi butiran tulang. Di belakang tempat Safirem berada beberapa saat lalu, tampaklah seorang gadis berambut hitam pendek dengan baju babydoll putih yang seakan menyatu dengan kulit putihnya, Abigail.
“A-Abigail?! K-Kenapa kau bisa berada di sini?”tanya Lazu panik.
“Kenapa aku bisa di sini?”tanya balik Abigail dengan suara Safirem. “Mungkin karena kau masih berada di Devasche Vadhi” jawab gadis itu.
Saat Abigail berkata “Devasche Vadhi”, sebuah retakan muncul pada pohon di sebelah Lazu, kemudian pohon itu runtuh beserta daun-daunnya menjadi sebuah pohon merah tak berdaun. Dari pohon merah itu, tanah di sekitarnya mulai memerah, kemudian merambat ke seluruh pelosok dunia itu, bahkan awan biru di langit kembali menjadi kemerahan.
“Hihihi... Lucu sekali kalau kau berpikir sudah keluar”tawa Abigail dengan suara Safirem.
“Berhentilah memakai suara Safirem!”protes Lazu.
“Kenapa? Bukannya kau suka ketika mendengar suara gadis itu? Lihatlah, bahkan aku menarik pita suaranya dari leher Safirem dengan tanganku sendiri”ujar gadis itu sambil menunjuk lehernya yang berbekas jahitan, kemudian melanjutkan tawanya.
“Aku bilang, HENTIKAN!!!”
Lazu menerjang Abigail, tapi pada saat itu, tiba-tiba ia berhenti. Tidak, bukan hanya Lazu, tapi semuanya dalam dunia itu, terkecuali suara tawa Abigail. Sang Matoi berusaha memberontak, tapi ia tak bisa melepas dirinya dari kejadian di luar nalar itu.
Entah dari mana datangnya, sebuah sengatan terasa jelas di pipi sang Matoi. Perlahan, tangannya mulai bisa bergerak sedikit demi sedikit, kakinyapun tidak terasa kaku seperti sebelumnya. Tidak akan memakan memakan waktu lama sampai sang Matoi itu dapat menggerakan tubuhnya lagi.
***
“Aku bilang, HENTIKAN!!!”suara Lazu menggema ke seluruh kastil Devasche Vadhi.
Lazu tengah duduk di atas lantai batu di bawahnya. Tangan kanan sang Matoi merentang ke depan, sama posisinya dengan saat ia menerjang Abigail tadi.
“H-Hanya mimpi?”
Lazu memeluk dirinya sendiri untuk merasakan suhu tubuhnya. Suhu tubuhnya panas menyengat, tanda kalau ada reaksi berlebihan dari kepanikan yang telah ia alami, artinya tubuhnya masih berjalan dengan baik. Namun, ada satu hal yang terbawa dari mimpi itu, yaitu rasa sakit dari sengatan pada pipinya sebelum ia terbangun.
“hihihi... lucu sekali mendengarkanmu berteriak di malam hari. Beruntunglah aku membangunkanmu sebelum mimpimu semakin kacau”ujar suara yang tak asing dibelakangnya.
Mendengar suara itu, pandangan Lazu langsung menajam. Ia segera berdiri dari posisi duduknya, menghadap sosok berbaju babydoll di belakangnya, Abigal yang sedang menggengam sebuah gunting di tangannya.
“Bagaimana? Apa kau suka dengan mimpi yang kubuat?”tanya Abigail.
“Kau... Kenapa kau melakukannya?”tanya Lazu
“Kurasa karena aku bosan melihatmu murung terus selama....”
“Bukan itu! Maksudku adalah membunuh Safirem! Kenapa kau melakukannya, bukannya ia temanmu sendiri?”
“Ya... Safirem adalah temanku. Karena itulah aku yang harus mengakhiri penderitaannya”
“Mengakhiri penderitaan?”
“Thurqk sudah tahu apa yang terjadi di ronde kedua... dimana Safirem kehilangan kekuatannya untukmu. Aku tak mau membayangkan apa yang akan ia perbuat kalau aku tidak membunuhnya saat itu juga”ujar Abigail.
“Jadi kau tidak punya solusi yang lebih baik dari membunuh Safirem?”tanya Lazu geram.
Abigail berbalik ke tembok di belakangnya, kemudian melayang pergi menembus tembok itu.
“Lain kali kalau kau punya mimpi buruk, jangan harap aku akan membangunkanmu” ujar Abigail sebelum menghilang tertelan tembok.
Lazu menekuk kedua kakinya, kemudian memeluknya dengan kedua tangannya sebelum membenamkan kepalanya diantara lututnya. Lazu kembali menangis dalam keheningan malam, membasahi lagi riak-riak air yang telah mengering di bawah tubuhnya.
“Safirem...”
Sementara itu, Abigail mengintip dari luar sel Lazu. Ia menggelengkan kepalanya, kemudian mulai berjalan meninggalkan sel sang Matoi.
“Kau benar-benar seperti orang mati sekarang”gumam gadis itu.
***
Act 2 : The Remains of The Deaths.
Pada langit Nanthara, tampaklah suatu mahluk humanoid berkulit merah sedang terbang melintasi langit kepulauan Nanthara dengan sayap hitam besarnya sampai ia mendarat di sebuah padang berumput merah, rumput Gavata. Hvyt itu segera melepas kunci pada rantai yang ia gunakan untuk menyeret para peserta, kali ini, peserta yang ia bawa adalah Lazu sang Matoi.
“Kita telah sampai”ujar Hvyt pada Matoi yang dibawanya.
Namun Lazu tidak merespon perkataan Hvyt. Merasa ada kejanggalan, Hvyt mengulangi perkataannya, tapi Lazu tetap saja tidak memberi jawaban.
“Peserta Lazuardi. Kita telah sampai!”ujar Hvyt untuk ketiga kalinya.
Hvyt menendang tubuh Lazu hingga tubuh sang Matoi berbalik. Ia memeriksa mata Lazu untuk memastikan ia tidak koma atau pingsan, tapi pemeriksaannya tidak membuahkan hasil yang memuaskan, hanya beberapa tetes air mata.
“Bangunlah, peserta Lazuardi!”
Hvyt menghujamkan tombaknya ke lutut Lazu, membuat sang Matoi terbangun kembali.
“Dewa tidak mengharapkan tangisan cengeng pada pertarungannya, jadi lebih baik hapus air matamu dan persiapkan keperluanmu untuk ronde berikutnya!”
Lazu duduk bersila, kemudian menyapu air mata yang berlinang di kedua matanya.
Merasa puas, sang Hvyt melepas tombaknya, kemudian mengeluarkan satu botol berisi cairan kemerahan. Satu tetes diteteskan ke lutut yang baru ia tikam, kemudian secara ajaib memulihkan lutut sang Matoi seperti sedia kala.
“Tempat apa ini,Hvyt?”tanya Lazu.
“Ini adalah Cachani Vadhi. Kau belum pernah ke sini, tapi sebelumnya tempat ini digunakan untuk membuang para peserta yang kurang menarik. Sekarang, karena turnamen hampir berakhir tempat ini menjadi tempat pembuangan sisa-sisa dari peserta yang telah gugur”jawab Hvyt
“Sisa-sisa?”
“Mayat, Senjata, Baju, Peralatan dan para mahluk yang terlempar ke dunia ini karena para peserta itu”
“Tidakah kalian memiliki cara pengolahan sampah yang lebih efisien? Semisal membakar dengan sihir api Dewa kalian”
“Jangan meledek, mahluk rendahan. Dewa takan mau mengurus tugas membakar sampah seperti para pesuruh”jawab Hvyt, kemudian merentangkan sayap hitamnya “tunggulah di sini. Pengumuman akan ronde berikutnya akan segera dimulai ketika peserta lawanmu telah datang”
Hvyt itu segera melesat ke atas, meninggalkan Lazu sendirian di pulau itu.
Seakan telah menjadi kebiasaan, Lazu segera berkelana mengelilingi pulau untuk mengumpulkan informasi geografis yang dapat ia gunakan nanti. Sayangnya, ia tidak menemukan apapun yang dapat ia manfaatkan.
Ada dua fakta yang ia dapat ketika berkelana, pertama rumput-rumput ini akan menyemburkan cairan kecut bila dibelah di tengahnya, kedua ada beberapa serangga raksasa bersembunyi dibalik rerumputan ini, tapi tak satupun serangga berani mengusik peserta, bahkan ketika Lazu pura-pura mati.
“Cairan Rumput dan para Serangga tak akan menjadi senjata bagus”pikir Lazu.
Saat ia memperhatikan langit merah kepulauan Nanthara, matanya menangkap pergerakan cepat dari sekelompok Hvyt. Empat, jika ditotal keseluruhan, masing-masing membawa kantung besar dengan tangan mereka.
Rasa ingin tahu Lazu terpicu. Bisa jadi kalau kantung-kantung itu membawa lawannya berikutnya, jadi ia memutuskan untuk mengukuti para Hvyt itu dari belakang.
Setelah perjalanan singkat, para Hvyt menukik turun pada suatu jurang di pesisir pantai, kemudian mendarat pada sebuah goa di dasar jurang tersebut. Salah satunya mengingatkan untuk berhati-hati dengan bawaan yang dibawa, kemudian meletakan keempat kantung itu di mulut goa tersebut dengan pelan. Setelah pekerjaan mereka beres, mereka buru-buru melesat keluar dari goa itu, tak menyadari Lazu yang sedang mengintip dari atas jurang.
Perlahan mahluk biru itu memanjat turun ke mulut goa itu, kemudian melemparkan dirinya ke dalam goa itu. Segera ia membuka salah satu kantong terdekat, tapi ia langsung melompat mundur setelah melihat isi kantong itu, sebuah mayat tanpa kepala dengan sebuah shotgun di tangan kirinya, seakan mayat itu dibunuh dengan satu tembakan dari senjata tersebut.
Lazu menelan ludahnya. Ia kembali menutup isi kantong itu dan hendak keluar, tapi rasa ingin tahunya memaksa Lazu untuk membuka kantong lainnya.
Kantong kedua, Lazu menemukan sebuah tubuh besar yang tampaknya terpotong di segala tempat hingga menjadi debu dan dua buah versi mininya.
Kantong ketiga, Lazu menemukan mayat seorang wanita yang terus menyebarkan bau busuk, disertai dengan mayat lalat dalam jumlah banyak.
Kantong terakhir adalah kantong yang membuatnya semakin tercenggang. Sekumpulan arang yang masih dapat dirasakan panasnya ketika disentuh.
Sang Matoi ingat bahwa ia pernah melihat jasad kedua dan ketiga saat mereka masih hidup, yakni mahluk setinggi tiga meter dan si gadis bau yang ia temui pada awal ronde kelima beserta para peserta lainnya. Bisa jadi, keempat kantong ini adalah keempat peserta yang telah gugur di ronde sebelumnya.
Raut wajah lazu memucat, kemudian melempar kantong penuh abu di tangannya. Ia masih ingat, apa yang terjadi pada lawannya di ronde sebelumnya : dibakar oleh api Thurqk hingga menjadi abu. Sialnya, karena mengingat kematian Sal, ia juga teringat oleh kematian Safirem. Ia teringat kembali bagaimana kekasihnya itu dikoyak bagai daging cincang oleh seseorang yang Safirem sebut “teman”.
Lazu berpikir. Jika semua mayat peserta di buang ke sini, bagiamana dengan mayat Safirem? Lazu tahu bisa jadi mayat Safirem yang telah terkoyak habis-habisan bersemayam di dalam goa ini. Ia tahu yang akan ia temui nanti bukanlah Safirem yang ia kenal, tapi paling tidak, ia ingin mengucapkan selamat tinggal padanya.
Lazu masuk lebih dalam, lalu menemukan sebuah pemandangan tak biasa. Akar-Akar dari atas permukaan goa menjalar di seluruh bagian dalam goa ini, terkadang meneteslah air-air kecut dari langit-langit goa. Meski rasanya yang kecut, tapi tampaknya cairan itu menjadi sebuah pupuk yang bagus untuk tanaman-tanaman di atas pulau ini. Sayangnya, hanya ada rumput-rumput merah di pulau ini.
Melanjutkan ekspedisinya, Lazu menemukan sekumpulan kantong yang sudah robek hingga isinya keluar. Ia mengasumsi bahwa ini adalah sisa-sisa dari para peserta yang sudah lama mati. Ia segera meraih satu kantong terdekat, satu kantong yang basah dengan cairan kental dari rerumputan itu.
Namun bukan potongan mayat yang ia temukan, melainkan sebuah kotak kecil berdekorasi mewah dengan alur tanaman yang terbuat dari emas beserta sebuah kunci kecil yang terukir dengan pola mirip seperti kotak tersebut.
“Aku tahu Dewa itu memang tidak berakal sehat, tapi sangat aneh jika harus memasukan dua benda kecil ini ke dalam sebuah kantong yang dapat menyimpan benda yang lebih besar”pikir Lazu
Rasa ingin tahunya membuatnya lupa akan tujuannya memasuki goa ini. Ia memutuskan untuk mengambil kunci dalam kantong itu kemudian melepas mekanisme penguncian pada kotak yang ia pegang. Suara decit engsel kotak itu mengiringi ketika Lazu membuka kotak itu, menampakan sebuah bola biru tua yang ditancapkan sebuah peluru.
“Apa yang dilakukan bola biru ini dalam sebuah kotak? Apapun itu, si dewa merah tidak menganggapnya terlalu berharga karena tak disimpan dengan baik” pikir Lazu, kemudian matanya teralihkan ke peluru di dalam kotak tersebut “Tapi melihat kotak penyimpannya yang mewah, mungkinkah peluru ini begitu penting hingga harus memakai kotak itu?”
Lazu mencapit sisi peluru itu dengan satu tangannya, kemudian membawanya ke depan mata birunya. Ia memutar-mutar peluru itu, tapi ia tidak menemukan kejanggalan sama sekali. Sang Matoi berpikir kalau bola biru di mata peluru ini adalah sebuah sarung peluru, sehingga ia melepas bola biru itu untuk memeriksa mata peluru itu.
Sang Matoi menemukan kejanggalan yang ia cari, tapi tetap saja ia tidak mengerti kenapa peluru tersebut harus dimasukan ke dalam sebuah kotak terkunci. Pasalnya, peluru di tangannya hanyalah sebuah peluru bermata tumpul.
Lazu merasa tidak akan menemukan apapun lagi dari kantung yang ia buka, sehingga ia hendak mengembalikan peluru itu seperti sedia kala. Lazu segera menyarungkan kembali bola yang ia temukan, tapi jarinya tergelincir, sehingga bola tersebut terjatuh pada genangan air rumput Gavata di bawahnya. Lazu segera berjongkok untuk mengambil kembali bola itu, tapi satu hal tak terduga terjadi.
Bola itu tiba-tiba bergelinding menghindari tangan Lazu, sehingga sang Matoi sontak melompat mundur sambil melempar kotak di tangannya karena terkejut.
Sayangnya kejutan itu belum berakhir. Air Gavata di bawahnya seakan memiliki nyawa, merangkak keluar dari lubang yang mewadahinya, kemudian membentuk bola sebelum bergelinding keluar dari goa itu.
Kejadian ini tentu membuat Lazu penasaran akan bola itu, sehingga ia berlari mengejar bola itu untuk menangkapnya, tapi ia tidak berhasil menangkapnya karena bola itu lebih dulu tercebur ke dangkalan laut merah Nanthara di depan mulut goa.
Keringat dingin menetes keluar dari kulit cair sang Matoi. Ia tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi padanya kalau Thurqk tahu apa yang ia lakukan di sini, bisa-bisa ia dikeluarkan dari turnamen karena alasan “menghilangkan properti”, sehingga ia berlari lebih cepat untuk mengembalikan bola itu ke kotaknya.
Ketika Lazu sampai di mulut goa, ia langsung disambut oleh terjangan sebuah semburan air dari laut merah Nanthara. Lazu menghindar kekanan, kemudian berbalik dan mempersiapkan ancang-ancang bertarung. Ia tidak tahu apa yang barusan menerjang, tapi pastinya bukan sesuatu yang bisa diajak kompromi.
Air merah yang menerjangnya tadi perlahan perlahan membumbung setinggi Lazu, kemudian membentuk suatu bentuk Humanoid, lengkap dengan kepala, tangan, kaki dan bagian abdomen. Pada kepala mahluk itu terukirlah sebuah wajah, tapi matanya tertutup dan tidak memiliki telinga ataupun mulut.
“Mahluk apa kau?”tanya Lazu.
“Mahluk apa aku ini?”ucap suara berat mahluk itu, mengulangi pertanyaan Lazu.
“Syukurlah, paling tidak mahluk ini punya kecerdasan untuk berbicara” pikir Lazu.
“Kau... adalah...”ucap mahluk itu terbata-bata. “Kau... adalah... Kau... adalah...”ucap mahluk itu berkali-kali, seakan menanyakan siapa lawan bicaranya.
“Namaku Lazuardi. Aku adalah seorang peserta Turnamen ini”jawab Lazu. “Sekarang, siapa dirimu?”tanya Lazu.
“Kau... adalah...aku...”
“Maaf, apa katamu tadi?”
“Kau... adalah...aku...kau... adalah...aku...”ucap mahluk itu berulang kali, tapi kali ini setiap ucapannya semakin jelas setiap pengulangannya. “Kau adalah Aku”ucap mahluk itu untuk terakhir kalinya dengan suara paling jelas.
Sang Humanoid cairan merah mulai berjalan ke arah Lazu. Perlahan, warna merah pada mahluk air itu tergantikan oleh warna biru tua disertai dengan pasir merah yang keluar dari telapak kakinya tiap langkah yang ia ambil. Ketika jarak mereka tinggal sejengkal, ia menjulurkan tangan biru tuanya kepada Lazu, kemudian menurunkan semua jari selain jari telunjuk.
“Matilah”ujar mahluk itu.
Iris mata sang Matoi melebar karena mendengar perkataan itu. Lazu mulai berjalan mundur dengan kaki gemetarnya. Ia tidak tahu apa yang dimaksud mahluk tersebut, tapi Lazu yakin bahwa dia adalah musuh.
“Ini semua salahmu!”ucap mahluk itu dengan nada geram. “Kau adalah aku... karena kitalah... dia mati!”
Kata “Dia” yang dilontarkan mahluk itu memicu otak cair sang Matoi untuk memprediksi siapa “Dia” yang dimaksud. Namun sebelum memprediksi alur pikir lawannya, Lazu harus mencari tahu siapa mahluk ini sebenarnya.
Lazu mengingat kalau mahluk tersebut mengatakan dirinya adalah Lazu sendiri dan dari nada bicaranya yang penuh amarah, dia tidak mungkin berbohong. Memang, ada beberapa kemiripan seperti tubuhnya yang terbuat dari cairan, tapi matanya tertutup, tidak memiliki syaraf dan dapat berbicara meski tidak memiliki mulut, seperti sebuah mahluk cacat.
Bisa jadi mahluk itu adalah sebuah inang Lazu yang tertinggal pada satu ronde kemudian dibuang oleh Thurqk ke pulau ini karena merupakan “Sisa” dari pertarungan Lazu. Akan masuk akal bila Lazu tidak mendapat feedback apapun dari inang tersebut karena dia cacat, sehingga Lazu menyimpulkan, ada kemungkinan besar mahluk tersebut adalah inang cacat dari Lazu.
Akantetapi, teori itu belum bisa menjawab siapa “Dia” yang dimaksud oleh mahluk itu. “Dia mati” itulah yang dikatakan. Siapakah “Dia” yang dimaksud? Apakah seorang peserta? Atau orang yang pernah ia kenal di turnamen ini? Ataukah seseorang yang berada jauh di masa lampau? Bahkan Lazu tidak tahu kapan ia membuat inang cacat tersebut.
Teori baru terbentuk dalam pikiran Lazu. Meski Lazu tidak mendapat feedback dari inang tersebut karena sifat cacat inang itu, tapi bisa jadi inang tersebut tetap mendapat feedback dari Lazu. Jadi, bisa dibuat kesimpulan bahwa ia mengetahui semua kejadian dari awal turnamen hingga akhir ronde ke enam.
Jadi, apabila mahluk itu adalah inang Lazu dan memiliki segala ingatannya, maka seharusnya Lazu bisa menebak siapa “Dia” yang dimaksud. Seseorang yang telah mati, orang yang akan membuat Lazu marah dan membenci dirinya sendiri setelah kematian tersebut.
“...Safirem”guman Lazu.
Mendengar nama tersebut, mahluk itu segera menahan kepalanya dengan kedua tangannya sambil menjerit tak henti-henti. Dilihat dari reaksi ini, Lazu menyimpulkan tebakannya benar.
“Safirem... Mati karenamu, Lazuardi!”kata sang inang cacat geram.
Mahluk itu menebalkan tangan kanannya, kemudian melayangkan sebuah pukulan menukik tajam ke dagu Lazu, membuat sang Matoi terlempar hingga ke atap goa sebelum jatuh tersungkur ke lantai. Ia tidak berhenti di situ, sang inang cacat melanjutkan dengan menendang-nendang tubuh Lazu yang tersungkur di lantai.
Sang Matoi tidak bergerak dari tempatnya. Bukan karena ia tidak bisa, tapi karena saat itu pikirannya sedang meninggalkan dirinya.
“Safirem... Mati karenamu, Lazuardi!”suara itu menggema lagi dipikiran Lazu.
Ia membayangkan... coba saja Safirem tidak pernah bertemu Lazu. Ia masih akan memiliki kekuatan sebagai putri Kejora di pulau Thvr, sehingga Thurqk takan berani macam-macam padanya, apalagi membunuh dia. Ini semua karena kekuatan Sakrifar itu. Seandainya Lazu tidak bertemu dengannya, maka...
“TIDAK!”
Tangan kiri Lazu menahan satu tendangan inang cacat tersebut, kemudian tangan satunya menyapu kaki lain Inang tersebut, membuatnya terjatuh selagi Lazu berusaha untuk berdiri. Saat mahluk itu kembali berdiri, Lazu telah menyodorkan telapak tanganya pada mahluk itu.
“Jangan bergerak... Atau aku akan menggunakan Pongio padamu! Jangan pikir aku tak akan melakukannya karena kau adalah inang yang cacat!”
“Cacat?”ulang inang itu. “Inang yang tak bisa melindungi Safirem dari eksekusi Thurqk? Kaulah inang yang cacat, Lazuardi!”
“Eksekusi Thurqk? Bukannya si gadis Abigail itu yang membunuh Safirem?”
“Itu adalah perintah dari Thurqk,bukan? Itu adalah sebuah eksekusi, sama seperti semua peserta lain yang telah mati!”
Lazu menutup giginya rapat-rapat sambil menatap tajam mahluk itu.
“sama seperti peserta lainnya?”gumam Lazu, mengulangi perkataan Emils.
Syaraf Lazu memerah, tanda kalau amarahnya telah memuncak. Dengan satu gerakan cepat, Lazu berhasil menggengam kepala “insang cacat” tersebut, kemudian menggunakan teknik penghisap airnya.
“Pongio!”
“GGGGGAAAAAAAAHHHH!!!!”pekik mahluk itu.
Tubuh biru tua “insang cacat” tersebut tersedot dengan cepat, tapi ia lebih dulu memutuskan lehernya sendiri sebelum tubuh lainnya tersedot, kemudian melompat-lompat kecil sebelum akhirnya tersandung batu dan membentur dinding goa di belakangnya.
“Kau... beraninya kau menipuku!”kata Lazu geram.
“T-Tunggu dulu! Aku bisa menjelaskan!”kata mahluk cair tak berkepala itu dengan membuka telapak tangannya ke Lazu, meminta sang Matoi untuk berhenti.
Syaraf pada bola mata Lazu menegang, kemudian memerah seperti syaraf lain di tubuhnya.Tertelan oleh amarahnya sendiri, ia langsung menerjang sambil melayangkan telapak tangannya ke tubuh “insang cacat” tersebut, tapi sesaat sebelum tangannya menyentuh targetnya, rasa perih menyebar ke seluruh tubuhnya dari bagian abdomennya.
“Berhati-hatilah sebelum menyerang,Lazuardi... AGH! Nama itu terlalu panjang! Akan kupanggil kau “Lazu” saja supaya tidak merepotkan!”kata sang inang cacat tersebut.
Begitu Lazu menoleh ke asal rasa sakit tersebut, ia menemukan juluran dari tangan mahluk itu telah menembus perutnya.
Mahluk itu berdiri, kemudian mendorong mundur sang Matoi dari juluran tangannnya, menampakan juluran tangan yang tak lagi berbentuk seperti tangan, melainkan meruncing seperti sebuah bilah pedang.
“Sebenarnya siapa dirimu?”
“Jangan terlalu serius! Tadi aku hanya bercanda soal insang cacat itu... bahkan kita tidak pernah bertemu sebelumnya di turnamen ini”jawabnya. “Namaku adalah Emils, sang Slime Revolutionist”
***
Act 03 : The Living Death.
“Kau bukan peserta yang lolos ke semifinal,kan? Kalau kau sudah mati, maka kau tidak terikat lagi dengan Thurqk. Kau sudah bebas! Tidak ada alasan lain untukmu bertarung!”ujar Lazu
"Ya, kau benar. Aku tidak ingin bertarung denganmu karena aku harus segera mencari jalan kembali ke duniaku. Teman seperjuangan di dunia asalku sudah menunggu lama”jawab Emils dengan menurunkan lengan kanannya. “Tapi sebelum aku pergi... boleh aku menanyakan satu hal?”
“Tanyakanlah”jawab Lazu.
“Apa pendapatmu tentang manusia?”tanya Emils.
Lazu menenangkan dirinya sampai syarafnya kembali ke warna biru. Lazu ingin menyimpan tenaganya untuk pertarungan berikutnya, sehingga ia harus menjawab dengan jawaban yang dapat menjauhkan konflik. Jawaban Netral, itulah yang akan dipakai Lazu.
“Mereka adalah kumpulan mamalia yang mudah dimanipulasi. Tidak jarang aku berhasil memperdaya mereka”ujar Lazu “tapi... aku juga menemukan beberapa manusia berhati baik, seperti Safirem dan...”
“Safirem adalah seorang manusia?”pertanyaan Emils memotong perkataan Lazu.
“Dia memiliki ciri-ciri tubuh seperti manusia, jadi aku mengasumsikan begitu. Meskipun seorang manusia, dia...”
“...Pergi dan meninggalkanmu sendirian”potong Emils lagi.
Mata Lazu terbelalak. Ia hendak membantah perkataan Emils, tapi melintaslah kilat balik kematian Safirem pada pikiran Lazu, membuat sang Matoi membungkam mulutnya.
“Tidak peduli siapapun, dari manapun dan kapanpun, manusia adalah mahluk yang suka mengingkari perkataan mereka”ujar Emils “begitu pulah temanmu itu, Lazu. Ia hanyalah seorang pendusta, seorang Penghianat!”ujarnya dengan nada berat pada kata “teman”.
“Safirem bukanlah pengkhianat!”
“Apa dia juga pernah berjanji untuk selalu ada bersamamu? Kalau begitu kenapa dia meninggalkanmu meski pernah berkata akan selalu bersamamu?”tanya Emils.
Meski Lazu belum menjawab, Emils dapat melihat syaraf Lazu yang mulai memerah lagi, sebuah tanda kalau pertanyaan Emils telah menyulut amarah lawan bicaranya.
“Mari akhiri percakapan kita di sini”ajak Emils
Lazu melepas nafas lega, tapi langsung dikagetkan dengan lemparan pedang es yang mendarat tepat di depan kakinya. Sang Matoi menengok ke pelempar pedang itu, melihat Emils telah memposisikan tubuhnya menyamping dengan kaki kiri di depan sedangkan tangan kanan Emils yang telah menjadi pedang diposisikan setinggi bahunya secara horizontal.
“Ambil pedang itu. Kita akan segera bertarung”
“Bukannya kau yang bilang tidak ada alasan untuk bertarung?!”
“Itu yang kupikirkan tadi, tapi aku baru menyadari kemiripan kita adalah suatu peluang yang terlalu sayang untuk dilewatkan! Dewa jadi-jadian itu takan mengetahui perbedaan antara aku dan kau karena kemiripan kita, sehingga aku punya peluang untuk kembali ke duniaku melalui turnamen ini!”jawab Emils.
“Aku tidak ingin ambil bagian dalam kegilaan ini!”seru Lazu.
“Apa kau pernah mendengar soal mahluk bernama Mimic?”tanya Emils. “Mimic adalah mahluk yang menyamar sebagai kotak harta atau guci yang akan memangsa para petualang yang membukanya. Mirip seperti “Pandora Box”,tapi berskala lebih kecil”
“Apa tujuanmu memberitahukanku soal ini?”
“Ingatkah kau terhadap kotak kecil yang kau buka tadi? Kalau kaulah yang membuka kotak itu dan menjatuhkan intiku, air Gavata di bawahmu yang menyembuhkan kerusakan pada intiku, sehingga membawaku hidup kembali! Secara teknis, kaulah yang menghidupkanku kembali.”ujar Emils.
Kaki kanan Emils menapak keras pada fondasinya, memberi sebuah dorongan yang kuat untuk membuat Emils mampu melompat ke depan Lazu kurang dari sedetik.
“Aku mau saja berterimakasih, tapi pada mahluk yang berteman dengan manusia? Tidak akan pernah!”
Tebasan pedang Emils langsung mesabet sang Matoi, tapi Lazu langsung berlindung di belakang pedang es yang diberikan padanya, sehingga tebasan itu malah membuat pedang es tersebut pecah menjadi serpihan-sepihan es.
“Pongio!”seru Lazu.
Serpihan-sepihan es di antara kedua petarung tertembus oleh tangan Lazu oleh tangan Lazu yang langsung menggengam pedang cair Emils. Hampir dalam satu kedipan mata, pedang Emils terserap ke dalam telapak tangan Lazu, kemudian berlanjut menyerap seluruh bahu Emils, tapi Emils sempat memutus hubungan dengan bahunya, sehingga tubuhnya yang lain tidak terserap.
Tangan kiri Lazu menyelinap ke daerah abdomen Emils, kemudian menghantamkan telapak tangannya sekaligus menggunakan Pongio untuk ketiga kalinya. Namun, kali ini tidak ada satu tetespun yang terserap, malah tangan kirinya terasa nyeri.
Lazu mengalihkan pandangan pada tangan kirinya, lalu menemukan tangan kirinya telah menghantam sebuah bongkahan es yang perlahan ikut membekukan tangan Lazu.
Tangan kiri Emils merentang, lalu memanjang seperti tongkat dan diakhir tongkat tersebut terbentuklah sebuah kubus cair yang kemudian ia bekukan, sehingga rentangan tangan Emils berubah menjadi palu berkepala es. Palu tersebut dihantamkan ke pinggang Lazu, melayangkan sang Matoi ke sisi lain goa.
Lazu segera mendaratkan kakinya pada lantai goa, mencegahnya untuk membentur dinding goa di belakangnya. Ia memeriksa pinggangnya yang baru saja terpukul, untungnya tidak ada kerusakan yang signifikan karena kemampuan “Nol” Lazu, kalau tidak karena kemampuan itu, ia dapat memastikan abdomennya akan mengalami kerusakan fatal.
Sang Matoi menengok kembali ke lawannya. Namun ia malah dikejutkan karena sang lawan masih berdiri tegak meski kepalanya telah terkena Pongio Lazu.
“B-Bagaimana kau bisa melihat kalau kepalamu sudah kuserap?”tanya Lazu.
“Bagaimana aku melihat kalau mataku selalu tertutup?”tanya balik Emils. “Tapi... bukannya masih lebih aneh kalau aku masih bisa bicara tanpa mulut,kan?”
Balok es yang Emils buat pada abdomennya dimuntahkan keluar, kemudian jatuh ke lantai sebelum menjadi pecahan-pecahan es. Abdomen Emils menyusut dari segi volume, tapi ia masih melanjutkan penyusutan tubuhnya dengan mengurangi tingginya sendiri untuk mengganti tangan kanan dan kepalanya yang terserap oleh Pongio Lazu.
“Sepertinya kau tidak bisa menyerap balok es”ledek Emils.
“Dan kau juga tidak bisa menyerap mereka kembali”balas Lazu.
Emils kembali menerjang, tapi kali ini dia memakai senjata yang tidak biasa, sebuah palu. Ia melakukan serangan pertama dengan melemparkan sebuah tendangan memutar kaki kirinya, tapi Lazu dapat menghindarinya hanya dengan mundur selangkah ke belakang, menyentuh dinding goa di belakangnya.
Lazu hendak menggunakan Pongio lagi, tapi Emils lebih dulu memanfaatkan kecepatan perputaran tendangannya untuk menghantamkan palunya kepada Lazu, kemudian mendaratkan kaki kirinya untuk menstabilkan kuda-kudanya sebelum mendorong palu itu beserta Lazu ke luar goa.
Emils mengejar ke luar goa, menemukan sang Matoi berdiri di atas daerah dangkalan di depan goa, tengah memancarkan simbol-simbol kehijauan yang langsung terserap kembali ke dalam dirinya.
“Jangan puas karena menang ronde pertama”ledek Lazu.
“Jangan mengeluh karena kalah ronde pertama”balas ledek Emils.
“Jangan lengah karena musuhmu masih jauh”ledek balik Lazu, tapi kali ini ia sudah berada di depan Emils dengan kedua telapak tangannya terbuka.
Kemunculan Lazu yang begitu mendadak tidak memberi Emils kesempatan untuk menghindar, sehingga tubuh sang slime terpukul mundur hingga menghantam dinding jurang di sebelah mulut goa karena kecepatan hantaman Lazu, meninggalkan tangan dan kakinya di tempat.
“A-Apa apaan tadi?! Itu sudah jelas curang!”
“dan kurasa menggunakan sihir es juga curang!”
“Sakrifar” adalah suatu kemampuan Lazu yang dapat memperkuat satu poin kemampuannya dengan mengorbankan poin lainnya untuk sementara. Kemampuan ini adalah pemberian dari kekasihnya, Safirem.
Lazu mengucapkan “Sakifar”, kemudian memunculkan berbagai simbol Safir sebelum berlari ke arah Emils dengan kecepatan dua kali kecepatan biasanya, tapi tidak secepat serangan sebelumnya.
Di sisi lain, Emils menyerap air merah kepulauan Nanthara, kemudian menjalarkan sebagian tubuhnya sejauh mungkin darinya. Saat Lazu mendekat, lima tombak es kemerahan mencuat dari bawah air, tapi Lazu menggunakan Sakifarnya untuk berfokus pada kecepatan pergerakan dan kecepatan persepsi, sehingga Lazu dapat melihat jelas alur serangan tombak es Emils.
“Ini tidak ada bandingannya dengan badai es Azraq!”seru Lazu.
Lazu menghindar ke kanan dari tombak pertama, kemudian mengelincir ke bawah ketika tombak kedua dan ketiga menyilang di atasnya. Tombak ke empat menerjang tepat di depan Lazu, tapi ia segera menghantam sisi kanan tombak tersebut, membuatnya berubah arah. Ia tidak perlu mengkhawatirkan tombak kelima karena tombak itu muncul di tempat yang salah, yakni 2,5 meter di kanan posisi Lazu.
Tanpa halangan lagi, Lazu menerjang Emils dengan pukulan telapak tangannya. Tepat sebelum Lazu menyentuh tubuh cair Emils, ia menarik tangannya kembali, menghindari lima tombak baru yang mencuat tepat di bawah tubuh Lazu.
“Sakrifar!”ucap Lazu, memunculkan kembali simbol-simbol Safir dari dalam tubuhnya, kemudian masuk kembali ke tubuhnya.
“Sebenarnya jurus apa Sakrifar itu?!Penambahan kewaspadaan?”tanya Emils pada dirinya sendiri. “Entahlah. Tapi kalau kemampuan ini membuatnya dapat menghindar...”
Jarak Lazu yang tak begitu jauh memungkinkan sang Matoi untuk langsung menyerang. Namun begitu ia menginjakan kaki lebih dekat, empat buah tombak es mencuat pada empat titik di sekitar Lazu, membuat sebuah formasi persegi.
Air diantara tombak es itu meninggi, kemudian membeku setelah setinggi 2 meter. Langit di atas kepala Lazupun mulai tertutup oleh lapisan es, membuat sang Matoi terjebak dalam kubus es. Perlahan, dinding dan langit-langit es kubus itu membentuk lapisan-lapisan air di depannya dan langsung membeku. Proses tersebut terulang berkali-kali, seolah membuat dinding-dinding es tersebut menyempit.
Lazu merentangkan kedua tangannya ke kiri dan kanan. Saat dinding es tersebut telah mencapai telapak tangan kedua lengannya, es yang ia sentuh berpendar menjadi air, kemudian tersedot ke dalam tubuhnya. Tidak memakan waktu lama untuk menyerap habis seluruh kurungan es itu.
Sang Matoi tersenyum puas. Ia sudah menduga apabila dirinya terus menghindar, maka lawannya akan membatasi ruang geraknya, jadi sebelumnya ia memakai Sakrifar untuk memfokuskan kekuatannya pada teknik penyerapan airnya.
“Trik murahan! Aku sudah melewati situasi yang lebih parah di Kanakarma!”seru Lazu.
Lazu melihat ke arah Emils lagi, menemukan bahwa Emils telah membentuk tubuh Humanoid lagi ketika Lazu terkurung. Sang Matoi segera melayangkan telapak tangannya, tapi terhadang oleh barisan tombak es yang mencuat dari bawah air.
“Pongio!”
Tidak seperti sebelumnya, kali ini senjata es Emils yang menyentuh telapak kanan Lazu terserap seakan tombak-tombak itu adalah air biasa. Telapak kiri Lazu menembus kumpulan tombak es Emils selagi yang kanan sedang menghisap dan berhasil menyentuh lengan kanan Emils yang berlindung di belakangnya.
“Ini sudah berakhir, Emils! Pongio!”seru Lazu.
Lengan yang Lazu sentuh tiba-tiba melesat keluar, kemudian melilit lengan Lazu bagaikan seekor ular. Ketika tangan kanan Lazu selesai menghisap semua tombak es Emils, tampaklah sosok Humanoid cair Emils. Namun, kali ini warna dari tubuh Emils adalah merah darah seperti warna laut Nanthara.
“Pongio! Pongio! Pongio! Pongio! Pongio!”seru sang Matoi berkali-kali. “Kenapa Pongio tidak bekerja?!”
“Rasakan ini!”seru Emils.
Tangan kiri Emils memadat, kemudian melontarkan sebuah pukulan pada abdomen sang Matoi, tapi karena lilitan pada tangan kiri Lazu, sang Matoi tertahan pada tempatnya.
“S-Sakrifar!”
Simbol Safir keluar dari tubuh Lazu, kemudian kembali ke dalam tubuh Lazu. Kali ini yang ia pakai adalah poin kekuatan. Dengan kekuatan yang ia dapat dari mengorbankan keempat kemampuan lainnya, Lazu berhasil menarik tangannya dari lilitan Emils hingga lengan Emils terputus. Ia segera mengambil beberapa langkah mundur untuk menganalisa keadaan.
“Pasir?”
Lazu menyadari sekumpulan pasir merah menutupi telapak tangan kanannya, lalu segera membersihkan kumpulan pasir itu dari telapaknya. Ia bertanya-tanya dari mana asal pasir di tangannya, kemudian ia teringat satu kejadian saat di goa tadi.
Ketika Emils berubah warna dari merah ke biru, sekumpulan pasir merah keluar dari tubuhnya. Bisa jadi pasir merah ini tercampur pada laut Natara, menggantikan garam sebagai mayoritas zat yang terlarut di laut.
“Jadi pasir inilah yang menggangu Pongioku?”pikir Lazu.
Lazu menyadari trik yang Emils gunakan. Ia tahu bahwa tubuh Emils terbuat dari cairan, sehingga teknik Pongio akan sangat efektif. Namun, teknik Pongio hanya dapat dipakai pada permukaan yang mengandung cairan.
Emils menggunakan pasir merah Nanthara untuk menutupi bagian tubuh yang akan berkontak dengan telapak Lazu, sehingga ketika berkontak, pasir akan menyelimuti seluruh telapak Lazu, mencegah airnya untuk terhisap ke telapak tangan Lazu.
Memang benar kulit mahluk hidup dapat dihisap oleh Pongio karena terbuat dari sel-sel yang tersusun dari cairan, tapi kali ini permukaan yang dipakai bukanlah sesuatu yang hidup, melainkan suatu benda mati sehingga Pongio tidak bekerja.
Lazu menarik satu kesimpulan : Emils dapat memanipulasi benda apapun dalam tubuhnya, bahkan jika benda tersebut adalah butiran-butiran pasir dan memakainya dalam pertarungan seperti yang baru saja ia lakukan.
Selama Emils punya pasir Nanthara, Lazu takan bisa menggunakan Pongio padanya, sehingga ia harus mengambil jalan terakhir, serangan fisik. Namun meningat dia harus menyimpan tenaga untuk ronde berikutnya, penyerangan fisik dalam jangka waktu lama tidak akan menguntungkan.
Lazu mulai kehabisan akal. Pertama, Pongio hampir tidak bisa digunakan. Kedua, Lazu tidak bisa menang dalam pertarungan jarak dekat tanpa menguras kekuatan melalui Sakrifar. Ketiga, melihat tubuh Emils yang bisa dibongkar-pasang seperti mainan, besar kemungkinan Enshaka Lazu akan lebih dulu terlepas sebelum bisa menghabisi Emils.
Lazu memandang ke laut lepas. Tampak perbedaan warna kemerahan yang semakin gelap jika semakin jauh dari pulau, tanda laut ini memiliki kedalaman yang terus menurun semakin jauh dari pantai.
Satu-satunya cara untuk Lazu menang adalah memakai keahliannya dalam pertarungan dalam air yang tak pernah ia gunakan dalam turnamen ini karena lokasi yang kurang memungkinkan. Namun sekarang ia berada di laut, akan sangat sia-sia jika kesempatan ini dibiarkan begitu saja. Untuk melakukan itu, Lazu hanya perlu memancing Emils.
“Namun bagaimana cara memancing Emils? mungkin Provokasi akan berguna untuk melawan mahluk seperti dia. Tapi apa yang bisa kupakai untuk memprovokasinya?”pikir Lazu.
Tiba-tiba Lazu teringat akan kejadian ketika mereka berdua bertemu. Awalnya Emils terasa seakan harus segera mencari jalan keluar, tapi karena satu alasan dia berubah pikiran dan menyerang Lazu. Diantara waktu penyerangan Emils dan perkataan keragu-raguan Emils untuk bertarung, Emils menanyakan satu hal sepele [Apa pendapatmu tentang manusia?]. Memang kedengaran tidak penting, tapi sepertinya pertanyaan itu berperan penting dalam pemilihan keputusan Emils.
“Sakrifar!”seru Lazu.
Sakrifar kali ini berfokus pada poin persepsi dan kecepatan. Dengan gerakan yang cepat, Lazu seolah-olah berpindah depan Emils dalam sekejap mata. Ia memposisikan telapak kanannya secara Horizontal, lalu menyabetkannya ke leher Emils. Akantetapi, tangan Emils bergerak lebih cepat dan sudah diposisikan di sebelah lehernya.
“Bentuk Humanoidmu... adalah manifestasi dari rasa kekagumanmu terhadap manusia,bukan?”
Sabetan Lazu bertabrakan dengan tangan Emils, tapi untuk suatu alasan tangan Emils tidak mengeras, sehingga Sabetan Lazu melintas seperti membelah air biasa, kemudian berlanjut memotong leher Emils. Reaksi lengah ini cukup meyakinkan kalau Emils memiliki suatu stigma negatif terhadap manusia.
“Kau tidaklah membenci manusia,Emils. Malah kau mengagumi mereka! Kau kagum akan kekuatan mereka! Kau kagum akan kepandaian mereka! Dan kau membenci dirimu sebagai Slime yang hina!”ujar Lazu.
“Memangnya kau tahu apa?!”seru Emils meledak-ledak.
Belasan tombak es mencuat dari dalam tubuh Emils, menerjang Lazu yang berada di depannya. Akantetapi, kumpulan tombak itu tidak berhasil mengenai Lazu karena ia lebih dulu melompat mundur.
Saat Lazu berpikir dia telah lolos dari serangan Emils, ia melihat gundukan air melesat keluar dari tubuh Emils mengejarnya. Ketika Lazu hendak mendarat, gundukan air itu tiba-tiba mengeluarkan juluran air panjang yang ujungnya lebar, pipih dan tajam, yakni sebuah kapak es, lalu melayangkannya ke Lazu yang belum sempat mendarat.
Dengan hati-hati, Lazu meraih tongkat penahan kapak itu, kemudian menarik tubuhnya dengan gengaman tangannya sebagai poros. Setelah satu salto diudara, Lazu mendarat berhasil dengan aman, kemudian mulai berlari karena ia tahu kalau Emils sudah berada tepat dibelakangnya.
Lazu dan Emils saling mengejar di tepi pantai. Lazu berada di depan, mengatur kecepatannya cukup lambat untuk diikuti Emils dan cukup cepat untuk menghindar apabila Emils melakukan serangan dadakan. Sementara di belakang Lazu, Emils tidak diam mengikuti begitu saja, terkadang ia melemparkan tombak-tombak es pada Lazu tak peduli berapa jumlah tombak yang dihindari Lazu.
“Mudah. Terlalu mudah”gumam Lazu.
Tangan kiri Emils menjulur kebelakang sementara yang kanan terus melancarkan serangan. Tangan kiri tersebut mengeluarkan sebuah bola biru gelap dari dalamnya, kemudian ditangkap oleh jari-jari tangan kiri Emils. Bola tersebut terlepas dari tangan Emils, kemudian menyentuh permukaan air dengan lembut sebelum tenggelam perlahan.
“Kalau kau pikir aku akan maju tanpa persiapan, kau salah besar, Lazu”
***
Act 4 : The Livings Underwater Battle.
Kita semua tahu semenjak awal turnamen bahwa laut Nanthara berwarna merah darah. Fenomena laut merah ini diakibatkan karena “Pasir Darah”, sebuah nama untuk garam merah yang terlarut di laut kepulauan Nanthara. Itu adalah penjelasan yang dapat diterima kebanyakan orang, tapi pernakah kalian bertanya sejak kapan laut Nanthara berwarna merah darah?
Menurut sebuah dongeng yang diturunkan turun-temurun di kalangan Hvyt, Laut Nanthara pernah berwarna biru seperti laut pada umumnya, mengandung garam putih dan berisi ikan-ikan segar yang siap ditangkap kapan saja.
Pada suatu hari, terjadilah suatu “Malapetaka” yang menewaskan seluruh penduduk kepulauan Nanthara, manusia, hewan bahkan tumbuhan. Sisa-sisa dari para penduduknya dibuang ke dalam goa-goa di pesisir pantai untuk dibiarkan membusuk di sana.
Arwah para penduduk yang telah mati tidak terima atas kematian mereka, sehingga mereka mengalirkan darah mereka ke laut Nanthara, mencemarinya supaya para penjajah tidak bisa memakai laut mereka.
Konon, para arwah menggunakan bentuk menyeramkan untuk menghabisi para penjajah yang memasuki lautan. Sampai saat ini, Laut Nanthara tetap berwarna merah karena arwah penduduknya tidak tenang. Dan apabila seorang Hvyt berenang di laut lepas Nanthara, maka ia akan tertelan oleh arwah para penduduk, itulah mengapa Hvyt memiliki sayap, untuk menghindari serangan dari arwah gentayangan.
Sangat tidak masuk akal,bukan? Dongeng ini diperuntukan kepada para Hvyt muda untuk tidak bermain-main di lautan. Memang benar dongeng ini tak masuk akal, tapi ada kebenaran tersirat di dalamnya.
Sementara itu, kita kembali pada kedua jelly biru kita. Jelly biru #2 sedang berdiri pada kedalaman setinggi lututnya, menunggu Jelly biru #1 untuk keluar dari permukaan air.
“Keluarlah Lazu! Bertarunglah dengan adil!”seru Emils ke lautan lepas, tapi tentu saja tidak ada jawaban dari Lazu.
Awalnya, Lazu sengaja memancing Emils ke daerah yang lebih dalam untuk mendapat keuntungan pertarungan, tapi setelah melihat keragu-raguan Emils, ia memutuskan untuk memancing Emils bertarung di dalam air. Sekarang, sang Matoi tinggal menunggu di dalam air sampai Emils membuat kesalahan fatal, yaitu bertarung di medan yang ragu-ragu ia masuki.
“AGH! Aku tidak peduli di darat, dangkalan, laut bahkan langit sekalipun! Aku akan menemukanmu, Lazu!”seru Emils.
Emils meletakan kedua tangannya di permukaan air, membekukan air di sekitarnya, sehingga membuat sebuah lapisan es yang mengambang di atas air. Setelah mencapai batas area penyebaran sihirnya, Slime itu menaiki lapisan es tersebut, kemudian mulai membekukan air di sekitar lapisan es yang ia buat untuk memperluas lapisan esnya. Saat lapisan es Emils mencapai diameter 100 meter, Emils berjalan ke tengah lapisan es tersebut, kemudian duduk bersila di sana.
“Bagaimana dengan sekarang,Lazu?! Kau tidak akan bisa menyerang dari dalam air selama es ini masih disini. Cepat keluar dan hadapi aku,Lazu! ”seru Emils.
“Harus kuakui... sihir esmu benar-benar menabjubkan”terdengar suara Lazu. “tapi sayang sekali...”
Emils segera berdiri dan menyiapkan kuda-kuda bertarung, kemudian mengawasi seluruh ujung lapisan es itu, tapi Lazu tidak terlihat sama sekali.
“Dimana kau Lazu?”tanya Emils.
“Kurasa kau tidak sepintar yang kukira”
Emils melangkah maju ke satu sisi lapisan es, tapi langkah Emils tidak membawanya maju, melainkan ke bawah, tepat ke air di bawah lapisan esnya yang tengah meleleh. Di bawah tempatnya berdiri tadi, ia dapat melihat Lazu mengambang seperti ubur-ubur dengan kedua tangannya merentang ke atas supaya dapat menghisap lapisan es Emils.
Slime itu hendak mencari sesuatu untuk dipijak, tapi cahaya yang ia lihat semakin berkurang setiap meter ia tenggelam. Setelah belasan menit usaha berenang yang siasia, akhirnya Emils berhasil memijak pasir di dasar lautan Nanthara, tapi bersamaan dengan itu, semua cahaya telah lenyap dari pandangannya.
Sementara itu, Lazuardi yang mengambang di atas permukaan hanya menonton Emils yang perlahan tenggelam ke dalam kegalapan lautan.
“Kurasa itu akhir darimu, Emils”kata Lazu dalam pikirannya. “Sebenarnya aku tidak ingin bertarung denganmu, tapi apa boleh buat kau yang memu....”
Satu tarikan kuat pada kaki Lazu memecah konsentrasinya. Sang Matoi menengok ke kakinya dan menemukan kakinya terlilit oleh suatu benda merah panjang seperti tali dari kegelapan laut. Meski tidak bisa melihat asal benda yang melilitnya, sang Matoi tahu jelas siapa pelakunya.
Lazu menyentuh pelilit kakinya untuk menggunakan Pongio, tapi ia langsung mengurungkan niatnya ketika meningat kalau dia sedang berada di dalam laut Nanthara. Jika ia memakai Pongio, maka pasir merah akan melekat di telapak tangannya, sehingga mencegahnya untuk menggunakan Pongio.
Sang Matoi memutuskan untuk berenang di sekitar daerah itu dengan kecepatan tinggi, berharap Emils akan terlepas atau tertabrak objek di dalam kegelapan sana. Di luar perkiraannya, Lazu tidak bisa berenang lebih jauh dari 1 Kilometer dari tempatnya terlilit karena benda yang melilitnya seakan terus menariknya kembali.
Setelah sekian lama berusaha, jarak renang Lazu semakin berkurang, tapi Lazu tidak berhasil menggoyahkan lilitan pada kakinya sama sekali. Di tengah usahanya,tiba-tiba ia mendengar suatu gelombang suara yang memekakkan telinganya.
Di dalam air, suara berfrekuensi menengah ke bawah tidak akan sampai pada pendengarnya karena terendam oleh air yang menjadi medium perantaranya. Suara yang di dengar Lazu adalah suara berfrekuensi tinggi, mendekati ultrasonik, tapi masih dapat didengar telinga. Suara tersebut bukanlah sesuatu yang dapat dibuat dengan pita suara mahluk biasa.
Lazu menengok ke asal suara itu, yakni sumber benda yang melilit kakinya. Tampaklah sebuah cahaya yang menerangi sepasang kumpulan batu seperti stalagmit dan stalaktit goa yang membentuk formasi oval di kegelapan laut. Di antara kedua pasang kumpulan batu itulah tampak juluran kemerahan yang terhubung dengan lilitan di kaki Lazu.
Sekarang Lazu tahu bahwa yang melilitnya bukanlah Emils, melainkan sebuah mahluk dasar laut raksasa.
“Angler...”gumam Lazu pelan.
Lazu teringat akan sejenis karnivora laut dalam yang memakai lampu untuk memancing mangsanya, “Angler” adalah namanya. Namun tidak seperti yang ia baca di buku-buku biologi, mahluk ini begitu besar hingga Lazu sempat mengira mulut Angler ini adalah sebuah mulut goa, padahal seharusnya mahluk laut dalam cenderung punya tubuh lebih kecil atau kurus untuk menghemat pemakaian energi.
Bukan hanya ukurannya yang tidak logis, tapi matanya yang dapat melihat Lazu di permukaan air beserta lidahnya yang dapat menjalar sejauh itu adalah sebuah kemustahilan sampai-sampai Lazu mengira bahwa mahluk tersebut adalah mahluk mutasi buatan Thurqk.
Dari dalam mulut Angler tersebut, melesatlah puluhan ikan bertubuh panjang dan berkepala runcing yang sisiknya begitu ketat sampai tulang-tulangnya terlihat jelas. Hal ini membuat Lazu menekuk kakinya dan menyilangkan kedua tangannya, berlindung dari terjangan ikan-ikan tersebut.
Angler tersebut mengeluarkan gelombang suara yang ia keluarkan sebelumnya. Air di sekitarnya tersedot ke dalam tubuh Angler tersebut bersamaan dengan ikan-ikan yang kabur dari mulutnya tadi.
Ketika Angler itu berhenti bersuara, air disekitarnya kembali seperti sedia kala. Saat itu pula, Lazu membuka matanya, menyadari kehadiran sosok Humanoid merah yang bersiap menebasnya di depan.
Lazu mengibaskan kakinya, mendorong tubuhnya untuk menghindari tebasan tersebut. Ia berusaha berenang lebih jauh, tapi lilitan di kakinya membuat jarak renangnya tidak jauh. Untungnya, tidak lama setelah itu, Emils terjatuh lagi ke bawah, langsung ke dalam mulut Angler di bawahnya.
Dari dalam mulut Angler itu, Emils merangkak keluar di antara gigi monster raksasa itu, kemudian ia memanjat keluar ke sisi kanan kepala angler itu, yakni matanya. Dengan satu hujaman dari pedang cair Emils, kumpulan darah merah mencuat dari mata monster itu, membuat monster itu mengerang kesakitan dan melepas ikan-ikan di dalam mulutnya. Emils segera menghanyutkan dirinya di antara ikan-ikan tersebut selagi mereka menerjang ke arah Lazu.
“Akankubuat kau menarik perkataanmu,Lazu!”seru Emils dalam pikirannya.
Ketika Emils hampir sampai di tempat Lazu, ia segera memotong lidah Angler, membuat sang Angler memekik kesakitan dengan gelombang suara yang membuat dorongan yang begitu kuat hingga air di atasnya melesat keluar permukaan seakan mengalami ledakan bom atom.
Air Nanthara lebih dulu kembali ke tempat asalnya, meninggalkan objek-objek yang terlempar oleh ledakan itu melayang-layang di udara.
“S-Sial! Sial! Sial! Kenapa mahluk itu bisa sampai melakukan ini?! Seharusnya itu hanya bisa terjadi di buku fiksi saja!”pekik Emils panik.
Pekikan Emils langsung disadari oleh Lazu yang sedang melayang-layang di belakangnya. Sang Matoi langsung meluruskan tubuhnya dengan kedua tangan di atas kepala, kemudian mengarahkan tubuhnya ke Emils yang sedang membelakanginya.
Kemiringan posisi Lazu mengubah arah jatuhnya menjadi menukik ke arah Emils, menerjang Slime itu dengan serangan kejutan.
“Kepanikanmu membuat semua rencanamu kacau, Emils! Pongio!”seru Lazu.
Emils tidak sempat membuat barikade pasir pada telapak tangan Lazu, sehingga Pongio Lazu langsung menyerap seluruh tubuh cair Emils. Akantetapi, Slime itu berhasil melontarkan intinya keluar sebelum terserap, menghindari kematian singkat.
“S-Sial! Tubuhku terserap!!!”pekik Emils.
“Jadi begitu! Tubuhmu sama seperti amoeba dengan Inti yang lebih maju”ujar Lazu. “Kalau aku menghancurkan intimu... maka kau pasti juga akan mati,Emils!”
“A-Ampun! Jangan sakiti aku!”pinta Emils.
“Setelah kau menghina Safirem? Kau tidak akan pernah kuampuni!”seru Lazu.
“Kau masih saja mau melindungi nama manusia itu meski dia telah mati? Atau jangan-jangan kau hanya mencari alasan atas kelemahanmu yang tidak mampu melindungi gadis itu?”ledek Emils.
“Diamlah kau! Jangankan diriku! Kau pasti juga pernah mengalaminya,bukan?! Kehilangan orang yang berharga adalah sesuatu yang pedih!”
“Aku sudah kehilangan “Orang berharga” lebih banyak dari yang kau pikirkan,Lazu!”seru Emils.
“Kalau kau memang sudah kehilangan lebih banyak orang berharga, kenapa kau masih saja mau melanjutkan hidupmu?! Rasa pedih ditinggal mati itu...”
“...seakan ingin bunuh diri,bukan?”sambung Emils. “Meski rasanya yang begitu pedih, setiap kali aku mencoba bunuh diri banyangan orang-orang itu selalu muncul dipikiranku dengan wajah murung. Sudah pasti mereka tidak akan senang kalau aku membuang nyawa yang telah mereka lindungi dengan pengorbanan nyawanya!”seru Emils.
Setelah ceramah singkat dari Emils, tatapan Lazu menjadi kosong, antara bengong dan berusaha mencerna perkataan Emils.
“Jadi... kau tidak mendengarkanku.... rasakanlah tangan dingin Gorgon si dewa kebodohan!”seru Emils.
Sebuah tangan es raksasa yang tengah menengadah menangkap Lazu, tapi karena strukturnya yang rapuh, Lazu menembus tangan es itu, kemudian berlanjut sampai ke dasarnya. Sementara itu, bola inti Emils ditangkap oleh suatu sosok humanoid kemerahan yang telah menunggu di atas permukaan es yang menampung puluhan kilo ikan bawah laut yang ikut terlempar dari ledakan tadi.
“Lama sekali kau”ujar sosok Humanoid itu.
“Yah... tadi aku harus keluar dari perut ikan besar. Kau lihat ledakan kuat tadi? Itu hanya erangannya ketika aku memutus lidahnya”kata Emils.
“Benarkah? Sepertinya aku kehilangan banyak hal”respon sosok humanoid itu.
Humanoid merah itu kemudian melempar bola inti Emils keluar permukaan air di luar es yang telah ia buat. Setelah Emils menyerap air Nanthara, ia memanjat naik ke atas permukaan es, lalu berjalan ke samping sosok humanoid merah satunya.
Lazu yang baru bangkit dari puing patung es yang menangkapnya lekas berdiri sebelum keluar dari puing-puing itu. Namun, ia langsung dikejutkan oleh kehadiran dua buah sosok humanoid merah di depannya.
“Baiklah. Karena aku yang Original, aku adalah Emils #1”seru humanoid merah di kanan.
“Terserah. Aku tidak peduli jadi #2”seru Humanoid merah di kiri. “Asalkan kita bisa menghabisi monster yang telah beraliansi dengan manusia ini”
“A-Ada dua Emils! Tidakkah ini berlebihan?”seru Lazu panik. “Terpaksa aku memakai ini...”kata Lazu sambil meletakan kedua tangannya di permukaan es.
Kedua Humanoid merah itu saling mendekat, kemudian berbisik dengan sesamanya, membicarakan suatu topik untuk pertarungan berikutnya.
“Nomer 2, jangan biarkan dia memakai kemampuannya!”seru Emils #1.
“Dimengerti!”respon Emils#2.
Kedua Emils berpencar ke dua sisi, kemudian masing-masing mengepung Lazu dari sisi kiri dan kanan. Tampak keduanya telah membentuk pedang cair di tangan kanan mereka, kemudian diluncurkan pada Lazu yang berada di tengah.
“Enshaka...”gumam Lazu dengan menggerakan kedua tangannya ke kiri dan kanan. “...lamatshu”
***
Act 5 : The Peak of Live
Dimana ini?
Aku ingat... berargumen dengan amoba itu... kemudian ada benda keras menghantam punggungku...
...u..
Sudahlah... apa gunanya?
...ru...
Aku tidak mungkin menang tanpa kemampuan maksimal, tapi kalau aku pakai seluruh kekuatanku tidak akan ada sisanya untuk ronde berikutnya... aku pasti akan kalah...
Bi...ru...
Aku lemah... aku tidak dapat melindungi siapapun... aku tidak punya siapapun lagi di dunia ini...
Biru...
Bahkan Safirem sudah...
Biru... Apa kau masih menyalahkan dirimu?
Lazu perlahan membuka matanya. Ia hanya melihat dunia yang terjungkir balik dihiasi dengan puing-puing es yang menghalangi cahaya dari luar tempat itu. Sang Matoi mengangkat tubuhnya untuk duduk, kemudian menekuk kedua kakinya sebelum memeluknya, sama seperti yang ia lakukan setiap malam di sel batunya.
Biru... Tidak usah bersedih. Masih ingatkah kau saat pertama kita berjumpa? Aku memberimu kekuatanku bukan tanpa sebab, biru
“Safi...rem?”gumam Lazu pelan, menutupi isak tangisnya.
Aku juga tidak mati tanpa tujuan, biru. Aku menukarnya untuk sesuatu yang lebih berharga dari nyawaku... sesuatu yang sangat aku sayangi. Sesuatu yang akan membuatku sedih kalau aku kehilangannya
“S-Safirem! Itu kamu,kan?! Safirem!”teriak Lazu sekeras-kerasnya, tapi suara sang Matoi tidak bisa keluar dari mulutnya karena derasnya air mata yang mengalir masuk ke mulutnya.
Dapatkah kau menebak apa “sesuatu” tersebut?
“Apa itu... aku? Lazuardi?”tebak Lazu.
Bukan. Sesuatu yang kutukar dengan nyawaku adalah...
Cahaya kehijauan memancar keluar dari tubuh Lazu, kemudian berpendar menjadi partikel-partikel debu yang membentuk sebuah wajah dan dua buah tangan. Kedua tangan itu meraih kedua pipi Lazu, sedangkan wajahnya menatap Lazu dari dekat.
...Orang yang kucintai.
Bersamaan dengan akhir kata itu, butiran debu itu berpencar, kemudian melayang melalui atap puing tempat itu ke angkasa. Mata Lazu terbuka, menyadarkan dirinya kembali diantara puing-puing es, memeluk lututnya.
“Terimakasih Safirem... Terimakasih...”isak tangis Lazu terdengar pelan.
Lazu segera berdiri dari tempatnya duduk, kemudian menatap celah besar yang ia buat di langit-langit ketika ia menghantam patung hampa yang ia tempati saat ini.
“Safirem... nyawa yang telah kau lindungi ini... tak akan berakhir sia-sia!”seru Lazu.
Lazu berpaling ke satu celah pada reruntuhan patung itu, kemudian berjalan keluar, menemukan dua sosok humanoid merah yang telah bersiap untuk menyerang.
“Paling tidak aku tidak boleh kalah disini... kalaupun aku akan kalah, akan kugunakan segenap kemampuanku!”pikir sang Matoi
***
“Nomer 1. Kau menyadari ada yang berbeda dari lawan kita ini?”tanya Emils#2
“Kau bisa merasakannya juga,ya?”tanya balik Emils#1
“Apa kau tahu apa yang terjadi?”
“Aku yakin dia telah melewati alur remiscene”
“Remiscene?”
“Ya. Kau tahu 5 fase plot pertarungan 2 karakter? Pertama, karakter 1 kalah, lalu mengeluarkan kemampuan. Kedua, karakter 2 yang kalah, lalu menggunakan kemampuan yang lebih hebat. Ketiga, karakter 1 kalah telak. Keempat, Remiscene mengingat masa lalu untuk dapat semangat entah dari mana. Kelima, karakter 1 menang”jelas Emils#1
“T-Tunggu dulu! Kalau begitu bukannya kita yang bakal kalah?!”
“Lihat saja nanti! 5 fase plot pertarungan 2 karakter hanyalah buatan manusia! Karena itu akan kupatahkan sekarang juga!”seru Emils#1 “Nomer 2, jangan biarkan dia memakai kemampuannya!”
“Dimengerti!”respon Emils#2.
Kedua Emils berpencar ke dua sisi, kemudian masing-masing mengepung Lazu dari sisi kiri dan kanan.
“Sakrifar!”
Cahaya kehijauan menyembur keluar dari tubuh Lazu untuk membentuk simbol-simbol safir yang masuk ke dalam dirinya lagi. Sakrifar kali ini ia fokuskan untuk satu poin kekuatan yang akan mentukan hasil dari pertarungan ini.
Sepasang tebasan pedang cair mengapit Lazu dari depan dan belakang oleh kedua lawannya yang menyerang dari sisi kiri dan kanan.
“Enshaka Lamatshu!”seru Lazu.
Dengan kedua tangannya, Lazu menahan kedua pedang cair yang hendak menembasnya, kemudian membenamkannya ke dalam tangannya sendiri. Akibatnya, kedua Emils tidak bisa mengayunkan pedang mereka lagi ataupun melepas dari genggaman Lazu.
Kedua Emils dengan sinkron membentuk sebuah palu besar di tangan kiri mereka, kemudian mulai menghantamkannya pada kepala sang Matoi seperti memalu sebuah paku. Meski kemampuan “Nol” Lazu mampu menyalurkan semua gaya yang ia terima langsung ke permukaan es di bawahnya, tapi sang Matoi masih dapat merasakan rasa sakit dari pukulan tersebut.
“Rasa sakit ini... Masih belum seberapa dengan yang telah Safirem alami!”pikir Lazu.
Emils dan klonnya berhenti memukul dengan palu mereka, kemudian meruncingkan ujung palu mereka, membuat sebuah kapak cair. Keduanya memposisikan kapak mereka di depan dan belakang abdomen Lazu, kemudian mengayunkannya sang Matoi, membelah tubuhnya menjadi dua bagian.
...atau seharusnya begitu.
Tepat sebelum kapak itu menyentuh kulit Lazu, keduanya berhenti.
Lazu melepas kedua pedang yang menancap di telapak tangannya, kemudian mendorong kapak dan pedang di depannya, melewati apitan kedua Emils yang berhenti bergerak seakan mengalami stopmotion.
“H-Hei... K-Kenapa ini bisa terjadi? A-Aku tidak bisa bergerak!”tanya Emils #1.
“M-Mana kutahu! A-Aku juga tidak bisa bergerak!”jawab Emils #2
“Enshaka”ucap Lazu, menarik perhatian kedua slime itu. “Kemampuan ini menanamkan parasit pada tubuh kalian, jadi bisa dibilang kalian dalam kendaliku sekarang”
“Jadi itulah yang kau masukan ketika membenamkan pedang kami di telapak tanganmu?”tanya Emils #1.
“Benar sekali”jawab Lazu.
Lazu segera berguling kesamping, menghindari tebasan pedang cair dari Emils yang tiba-tiba menyerang dari belakang.
“Bodoh sekali! Kami bisa melepas bagian tubuh kami sesuka hati! Kau juga lakukan, klon!”seru Emils #1
Di dalam tubuh biru gelap klon kedua, tampaklah sekumpulan cairan biru muda yang kemudian dikeluarkan melalui perut klon tersebut.
“Aku sudah memperkirakan kalau kalian bisa melepasnya dengan mudah”ujar Lazu “tapi aku tidak yakin ikan-ikan di sini bisa melakukan hal yang sama”
Suara retakan telur terdengar di sekeliling ketiga orang di atas permukaan es. Dari puluhan kilo ikan yang tergeletak di atas permukaan es itu, munculah ratusan Lazu-Lazu kecil. Lazu-Lazu tersebut kemudian bersatu dengan sesamanya, membentuk puluhan Lazu yang seukuran dengan originalnya.
Kondisi telah berbalik, kali ini Emils dan klonnyalah yang terkepung. Keduanya mempersiapkan kuda-kuda mereka sambil menjaga punggung satu dengan yang lain.
“S-Sial... bahkan tanpa medan sihir di dunia ini, aku tidak mungkin membuat klon sebanyak ini!”ujar Emils #1
“Sekedar informasi untukmu, yang kugunakan tadi adalah “Enshaka Lamatshu”, sebuah versi terbaru dari Enshaka yang membuatku mampu membuatku mampu memanipulasi ruang dan waktu...”
“Jangan kelamaan menjelaskan! Langsung ke intinya!”potong Emils.
“... dengan kata lain, aku bisa membuat parasit dengan inang apapun di tempat yang pernah aku datangi. Kau mungkin tidak menyadarinya, tapi ada beberapa telur kecil yang turun bagaikan hujan ketika kau sibuk memaluku, bahkan...”
“Aku bilang langsung ke intinya! Aku tidak paham bahasa sains!”potong Emils untuk kedua kalinya.
“begitupula di dalam air”
Kedua Emils menengok ke lantai es di bawah mereka, menemukan sekelompok Lazu yang melambaikan tangan mereka melalui lantai es yang transparan.
“B-Begitu cepatkah dia berlipat ganda?!”kata Emils #2 panik
“Tenang saja! Seharusnya di bawah sana ada mahluk monster itu! Monster sebesar goa dengan lampu terangnya!”ujar Emils #1
Tiba-tiba air di laut itu bergemuruh, menggetar permukaan es di atas laut itu. Suatu mahluk berukuran hampir setinggi bukit timbul ke permukaan air. Namun sayang sekali, yang tersisa darinya hanyalah tulang dan beberapa daging yang telah tergerogoti oleh parasit Lazu.
“Oh? Angler? Dia telah menjadi inang untuk koloni Lazuku. Sekarang yang tersisa dari dia hanyalah tulangnya”balas Lazu. “Sudah cukup basa-basinya. Mari kita sudahi di sini!”
Semua Lazu di atas permukaan es menghentakan telapak tangannya pada lantai di bawahnya, kemudian mulai menyerap seluruh permukaan es tersebut dan dalam sekejap semua permukaan es itu lenyap, membuat semua di atasnya jatuh ke dalam laut Nanthara.
Emils segera membentuk permukaan es begitu dia dan klonnya menyentuh air, tapi permukaan kecil itu tidak mampu mengubah kondisinya yang sedang terkepung, ditambah lokasi yang memiliki kedalaman air, musuh memiliki keunggulan dalam pertarungan ini.
“Nomer 1, kita terkepung. Bagaimana kalau kita memakai “itu” sekarang juga?”
“Maksudmu skill yang tidak pernah kita pakai bahkan sampai kita kalah di turnamen?”
“Ya, benar. Satu skill yang tertera dalam charsheet, tapi tidak pernah dikeluarkan sama sekali”
“Yah... Ayo kita lakukan... lagipula, ini adalah...”
Kedua Emils bersiap pada kuda-kuda mereka. Kaki kiri di depan kaki kanan dengan posisi tubuh menyamping. Tangan kiri lurus kedepan, sementara tangan kanan memanjang menjadi pedang sambil menyentuh air.
“...pertarungan terakhir kita!”seru kedua Emils bersamaan.
Dari pedang kedua Emils yang menyentuh air, menjalarlah dua garis jalur es yang bergerak berlawanan. Ketika mencapai jarak 10 meter, garis tersebut berbelok hingga membentuk satu lingkaran sempurna dengan Emils di tengahnya.
“Stage set..”gumam Emils.
Laut kembali bergemuruh, tapi kali ini bukanlah karena monster laut, melainkan pasukan koloni Lazu yang berenang ke arah Emils secara bersamaan.
“Tahap pertama : Vortex of invitation...”
Lingkaran es buatan Emils bersinar dengan cahaya kebiruan. Air di dalam lingkaran tersebut perlahan berputar satu arah dan pada tiap detiknya menglami percepatan signifikan, sehingga membuat sebuah pusaran air hanya dalam beberapa detik.
Pasukan koloni Lazu yang berada di dalam lingkaran tersebut tidak mampu melepas diri mereka dari pusaran tersebut, sehingga mereka tersedot ke tengah pusaran itu, tepat di bawah Emils dan klonnya. Mereka yang kurang beruntung tercincang habis di dalam pusat pusaran air itu.
“Tahap kedua : Rain of Sky Pillar...”
Pusaran yang tengah berputar tiba-tiba melambat. Ketika para Lazu melepas nafas lega, pillar-pillar es menerjang dari bawah mereka, membuat mereka terbang berhamburan di langit Nanthara.
“Kau yakin kita bisa memakai tahap Final? Medan sihir di dunia ini membuat klon kita jadi lebih tidak stabil”
“Kita tidak perlu mengatur mereka untuk tahap Final. Jadilah buas dan habisi semua lawan kita!”
Emils #2 membalas dengan sebuah anggukan, kemudian menceburkan dirinya ke dalam laut. Sama seperti yang dialami koloni Lazu, Emils #2 terpentalkan ke langit oleh sebuah pillar es.
“Tahap ketiga : The Sky of ices!”
Pillar-pillar es yang telah melempar koloni Lazu terlempar ke langit karena hantaman pillar-pillar baru yang dibentuk di bawah mereka. Pillar-pillar baru tersebut kemudian dilemparkan juga oleh pillar-pillar yang lebih baru. Proses tersebut terjadi berulang kali hingga langit dipenuhi oleh pillar-pillar es yang saling menghantam satu dengan yang lain.
Emils #2 segera melompat dari pillar yang menerbangkannya sebelum pillar tersebut terhantam oleh pillar lainnya. Ia mendarat di satu pillar kemudian melompat ke pillar lain sampai ia berada tepat di atas originalnya. Di sana, Klon Emils membelah intinya menjadi dua, kemudian menjadi inti. Keempat inti belahan itu saling berebut tubuh cair Emils #2, saling mendorong dan menjatuhkan.
Sama seperti perkiraan Emils, karena medan sihir dunia ini tidak stabil, jika ia membuat terlalu banyak klon, maka klonnya tidak akan bisa dikendalikan. Namun, ia tidak perlu kendali dalam tahap terakhir.
Beberapa pillar berpermukaan lebar melesat keluar di bawah Emils #2, mendorong air di atasnya ke kumpulan klon tersebut, memberi mereka tubuh untuk bergerak.
“Tahap Final : The Icicle Dance!”
Para Klon yang tak terkendali langsung melampiaskan amarah mereka dengan menerjang pillar-pillar terdekat, termasuk koloni Lazu yang terlempar ke langit. Serpihan demi serpihan pillar-pillar es tersebut terkikis dari tempatnya, bahkan jumlahnya lebih banyak dari potongan koloni Lazu yang tercincang habis-habisan.
Ketika Emils yakin semua koloni Lazu telah musnah, ia menghentikan pembuatan pillarnya. Karena tak ada tembakan beruntun dari bawah yang menjaga pillar-pillar di atas tetap melayang, serpihan-serpihan es di langit turun ke laut Nanthara, membuat sebuah pemandangan seakan terjadi hujan es.
Emils yang telah kehabisan banyak tenaga tidak mampu menahan bentuk manusianya, sehingga ia langsung berubah menjadi tumbukan jeli biru semi transparan dengan sebuah bola biru yang mengambang di dalamnya. Tampak jelas pasir merah di bawah tubuh cairnya, menandakan kalau ia telah kehabisan tenaga, bahkan untuk menahan pasir-pasir itu di tempatnya.
Sang Slime biru melepas nafas lega, kemudian menengok ke langit Nanthara yang tengah dipenuhi dengan serpihan-serpihan es yang perlahan mengambang turun.
“Icicle Dance. Sebuah jurus pamungkas dengan akhir dimana banyak hujan es atau sering juga disebut “Icicle”, sangat cocok dengan namanya”gumam Emils pelan.
“Ya, benar-benar jurus pamungkas yang indah”
Sebuah tangan cair menembus tubuh slime Emils, kemudian menarik intinya keluar dari tubuh itu. Pemilik tangan itu melepas sebuah tawa pelan meski nafasnya berat. Ia mengangkat inti Emils tinggi-tinggi, mengumumkan pemenang dari pertarungan itu adalah dirinya sendiri, Lazuardi.
“Sayangnya kau terlalu gegabah, Emils. Aku tidak tahu musuh apa yang akan menyerang ketika mereka melihat lingkaran yang kau buat. Lingkaran itu seakan mengatakan kematian akan menjemput bila melewati garisnya, jadi aku hanya mengirim beberapa koloniku supaya kau melepas jurus pamungkasmu”ujar Lazu.
“Kau belum menang sampai semua klonku musnah!”seru Emils.
Tiba-tiba empat buah tubuh cair jatuh ke laut Nanthara, yakni keempat klon Emils tapi keempat tubuh cair itu langsung dihabisi oleh Pongio koloni Lazu.
“S-Serius?! Hanya dalam satu kalimat?!”pekik Emils.
“Sekarang, kau benar-benar berakhir Emils”
Lazu menyatukan dirinya dengan semua koloninya yang tersisa, mengganti semua kerusakan hingga seakan-akan semua luka dan energi yang terbuang dalam pertandingan itu tidak pernah terjadi sama sekali.
“Dengan ini, paling tidak aku tidak akan kalah di ronde berikutnya. Dan untukmu, Emils...”
Lazu mencengkram keras inti Emils, kemudian mengucapkan satu kata yang dapat mengakhiri hidup Emils saat itu juga.
“Pongio”
***
“Pada akhirnya kau tetap suka memperdaya dan mudah diperdaya, Lazu”
Dari balik rerumputan Gavatha, tampaklah wajah putih pucat gadis berambut hitam pendek berpita biru. Bibirnya tertutup rapat, berlawanan dengan rahang bawahnya yang perlahan bergerak naik-turun, seakan ia berusaha menahan tawanya sendiri.
“Nona Abigail, apakah kita harus mengambil tindakan sekarang?”tanya seorang Hvyt di sebelah Hvyt.
“Diamlah, Hvyt”balas Abigail ketus.
“Itulah yang anda katakan semenjak awal pertarungan mereka,nona”kata Hvyt itu. “tapi... apa anda yakin dewa akan mengizinkan ini terjadi?”
“Tidak perlu khawatir. Ketika ia pingsan setelah menghantam patung es tadi, aku telah memasuki alam bawah sadarnya untuk memberinya motivasi melanjutkan turnamen ini”jawab Abigail.
“Jadi semua masih dalam rencana, nona?”tanya Hvyt.
“Ya. Meski kemunculan... peserta gugur itu diluar perkiraanku, tapi hasilnya sama saja”ujar Abigail.
Abigail berbalik, kemudian melayang perlahan menembus kerumunan rumput Gavatha.
“Ayo kita kembali, beruang kecil itu pasti sudah menunggu lama”
***
Act 6 : The Living(?)
Lazu tengah berdiri di antara rumput-rumput Gavata. Di depan sang Matoi, berdirilah sebuah boneka beruang dengan sebuah senapan asing terkalung di punggungnya. Keduanya sedang menunggu aba-aba mulai dari Hvyt yang sedang terbang di antara mereka.
“Safirem...”gumam Lazu pelan. “Pengorbananmu tidak akan sia-sia!”seru Lazu.
Setelah suara teriakan keras Hvyt, pertarungan Sang Matoipun berlanjut. Dapatkah sang Matoi memenangkan ronde ini? Saksikan cerita aslinya di page BoR!
Tapi cerita ini belum selesai...
Di tengah desingan peluru sihir yang ditembakan lawannya, di sela-sela kesibukannya menanam parasit pada serangga di pulau itu, Lazu tidak menyadari kehadiran satu mahluk yang sangat dekat dengannya...
“Sial sekali aku masuk ke dalam sini”gumam mahluk tersebut.
Lazu tidak dapat melihatnya karena ia berada di belakang matanya, secara verbal. Sebuah bola biru sebesar bola tenis sedang mengapung perlahan di dalam kepala sang Matoi. Bola biru itu terjebak, terkurung di dalam kepala Lazu akibat Pongio yang menyerapnya ke dalam tubuh sang Matoi.
Emils tidak bisa keluar kehabisan tenaga dari pertarungan terakhir dan kalaupun ia keluar, ada sebuah pertarungan ganas yang siap menyambutnya. Paling tidak untuk sekarang, ia hanya bisa bertahan di dalam sana.
BLAR!
Satu tembakan sang boneka beruang meledakan kepala Lazu.
“BBUURRAA!!! Ternyata ini cuma duplikat lain!”seru boneka beruang itu, kemudian bersembunyi kembali ke rerumputan Gavatha.
Dan begitulah akhir kisah Emils, sang Slime Revolutionist berakhir.
The End
Sekian dari Fanfic kali ini.
Apabila ada kesalahan penulisan, saran, komentar, pertanyaan,dsb silahkan tulis di kolom komentar.
Kritik dan Saran sangat diharapkan.
Apabila ada kesalahan penulisan, saran, komentar, pertanyaan,dsb silahkan tulis di kolom komentar.
Kritik dan Saran sangat diharapkan.